Perbedaan Shalat Jum'at Antara NU dan Muhammadiyah

on Sabtu, 04 Juli 2015

Shalat jum’at adalah ibadah fardhu ‘ain bagi laki-laki yang mukallaf, tak ada ikhtilafdi titik ini. Perbedaan di kalangan ulama fiqih baru muncul pada tata carapelaksanaannya. Kita tidak perlu terkejut ketika shalat Jumat di kampungorang lain, yang mana cara pelaksanaannya berbeda dengan shalat jumat dikampung kita. Dan kita tak perlulah terburu-buru menganggap bahwa shalat Jumat dikampung “B” salah, bid’ah, atau telah keluar dari syariat, hanya karenaberbeda tata cara pelaksanaannya dengan yang biasa kita lakukan.
Muhammadiyahdan NU, sebagai organisasi Islam yang memiliki massa terbesar di Indonesia,memiki pendapat yang berbeda dalam hal tata cara pelaksanaan shalat Jumat. Perbedaantersebut, antara lain terletak pada pertanyaan, apakah adzan Jumat dilakukansatu kali atau dua kali? Apakah dalam shalat jumat perlu adanya shalatqobliyah? Apakah petugas khotib perlu menggunakan tombak sewaktu khotbah?
Ringkasan pada bab ini adalah, sebagai berikut: 
 Dalam masalah adzan Jumat, 
a.   Muhammadiyah berpendapat bahwa adzan Jumat hanya satu kali yakni setelah khatib naik kemimbar dan menguapkan salam. Sementara NU berpendapat bahwa adzan Jum’atdilakukan dua kali, sebelum khatib naik mimbar, dan setelah khatib naik mimbardan mengucapkan salam.
b.   NU berpendapat bahwa shalat qabliyahJumat adalah sunnah, sebagaimana shalat qabliyah dhuhur, sementara Muhammadiyahtidak menganggapnya bagian dari sunnah.
c.  Petugas Khotib di masjid-masjid NUbiasanya memegang tombak ketika khotbah, bagi Muhammadiyah itu tidak perlu.
Memang, kita tidak bisa seketika menyimpulkan; misal jika di sebuah masjid adzan shalatJumat dilakukan dua kali berarti masjid tersebut di kuasai warga NU, dansebaliknya, jika adzan Jumat cuma satu kali berarti “dikuasai” wargaMuhamamdiyah. NU dan Muhammadiyah hanya mengeluarkan fatwa, dengan harapan bisadijadikan rujukan bagi kaum Muslimin, khususnya bagi kelompoknya. Fatwa-fatwatersebut akan kami jabarkan satu persatu, bukan dengan maksud untukmengotak-kotakkan. Melainkan agar kita semakin dapat memahami perbedaanpendapat seputar pelaksanaan shalat Jumat.  
Adzan Jumat
1. Muhammadiyah.
    Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah tidak diterangkan secara rinci mengenaicara penyelanggaraan shalat Jumat. Demikian pula mengenai pendapat di sekitarshalat Jumat, seperti mengenai berapa kali adzan, cara penyampain khutbah,maupun bab shalat qabliyah Jumat.
Dalammemutuskan kapan adzan dimuai dalam shalat jumat, tarjih menyatakan: “ApabilaImam telah duduk di atas mimbar, maka adzanlah salah seorang dari kamu danapabila Imam telah turun dari mimbar maka berqamatlah.”
Dasardari tuntunan di atas, sebagaimana terdapat dalam HPT adalah hadis dari Syaibbin Yazid yang artinya:
“Karena hadis riwayat Bukhari, Nasaidan Abu dawud dari Saib bin Yazid r.a, yang berkata: “Adapun seruan pada hariJum’ah itu pertama (adzan) tatkala Imam duduk di atas mimbar, pada masaRasulullah SAW, pada masa Khalifah Abu Bakar r.a, pada masa Khalifah Umar r.a,setelah tiba masa Khalifah Utsman r.a, dan orang semakin banyak maka beliaumenambah adzan ketiga di atas Zaura (nama tempat di pasar) yang mana pada masaNabi Saw hanya ada seorang Muadzain.”
TarjihMuhammadiyah mengaku mengikuti apa yang telah berlaku pada masa Rasululah saw.Jadi, apa yang dilakukan oleh Khalifah Utsman tidak dilanjutkan atau ditiruoleh Muhammadiyah.
Perlukami singgung lagi, bahwa HPT Muhammadiyah tidak memberi keterangan yang lebihjauh berkait pengambilan hukum ini. Namun, penulis perlu menambahkanalasan-alasan Ulama lain yang sependapat dengan Muhammadiyah berkaitan masalahadzan Jumat.
Bahwa Khalifah Utsman menambahkan adzanpertama karena suatu alasan yang masuk akal, yakni pada masa itu kaum Musliminsemakin banyak jumplahnya dan tempat-tempat mereka berjauhan dari MasjidNabawi. Beliau hanya ingin menyampaikan kepada mereka (kaum Muslimin) tentangmasuknya waktu shalat, dengan mengqiyaskan shalat-shalat lainnya. Oleh karenaitu, beliau memasukkan shalat Jum’at ke dalamnya dan menetapkan kekhususanJum’at dengan adzan di depan khatib.
Syaikh al-Albani dalam al-Ajwibahan-Nafi’ah berpendapat bahwa kondisi sekarang dianggap sudah tidakmemerlukan adzan tambahan sebelum khatib naik mimbar. Hampir tidak ada seorangpun yang berjalan beberapa langkah, melainkan pasti mendengar adzan Jum’at darimenara-menara masjid. Apalagi alat-alat pengeras suara telah dipasang dimenara-menara tersebut, jam-jam penunjuk waktu dan selainnya telah tersebar di mana-mana.
Ada pula yang berpendapat bahwa, melakukanadzan Jumat sama seperti yang dilakukan oleh Utsman r.a. sekarang initermasuk di dalam tashiilul haashil (berusaha mewujudkan sesuatu yangsudah ada) dan ini tidak boleh, terutama masalah ini mengandung unsur tambahanatas sunnah yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw. tanpa alasan yangmembenarkannya.
Pendapat tersebut mencoba dikuatkandengan mencermati lagi sejarah, di mana ‘Ali bin Abi Thalib r.a ketikaberada di Kuffah merasa cukup dengan sunnah Rasulullah saw tidak melakukan seperti yang dilakukan oleh ‘Utsman r.a., hal ini seperti yang diungkap didalam Tafsir al-Qurthubi.
2. Nahdlotul 'ulama 
    Sebagaimana sudah disinggung di atas, bahwa NU berpendapat sunnah hukumnya adzan Jumat dilakukan dua kali. Pendapat ini tentu tidak asal-asalan muncul, melainkan ada hujjahdan dalil yang mendasarinya.
NU sepakat bahwa di zaman Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar bin Khathab mengumandangkan adzan untuk shalat Jum’at hanya dilakukan sekali saja. Penambahan adzan Jumat kemudian dilakukan di zaman Khalifah Utsman bin Affan r.a. sebelum khatib naik ke atas mimbar, sehingga adzan Jum’at menjadi dua kali.
KH. CholilNafis, salah seorang pembesar NU yang mengurusi Lembaga Bahtsul Masail, menyadaribahwa apa yang dilalukan Khalifah Utsman r.a. dikarenakan melihat manusia sudahmulai banyak dan tempat tinggalnya berjauhan. Sehingga dibutuhkan satu adzanlagi untuk memberi tahu bahwa shalat Jum'at hendak dilaksanakan. Apa yangdilakukan Khalifah tersebut, menurut NU masih dianggap relevan sampai sekarang.
Untukmenguatkan pendapatnya, Cholil Nafis mengutip kitab Shahih al-Bukhari, di sana dijelaskan:
Dari Sa'ib iaberkata, "Saya mendengar dari Sa'ib bin Yazid, beliau berkata,“Sesungguhnya adzan di hari jumat pada asalnya ketika masa Rasulullah SAW, AbuBakar RA dan Umar RA dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar. Namun ketikamasa Khalifah Utsman RA dan kaum muslimin sudah banyak, maka beliaumemerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan tersebut dikumandangkan diatas Zaura' (nama pasar). Maka tetaplah hal tersebut (sampai sekarang)". (Shahih al-Bukhari)
Pendapat NU tentangsunnahnya dua adzan pada shalat Jumat juga sejalan dengan pendapat SyaikhZainuddin al-Malibari, pengarang kitab Fath al-Mu'in, yang mengatakan:
"Disunnahkanadzan dua kali untuk shalat Shubuh, yakni sebelum fajar dan setelahnya. Jikahanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama dilakukan setelah fajar. Dansunnah dua adzan untuk shalat Jum'at. Salah satunya setelah khatib naik kemimbar dan yang lain sebelumnya". (Fath al-Mu'in: 15)
NU menganggapbahwa ijtihad Utsman sebagai ijma’ sukuti,yaitu kesepakatan para sahabat Nabi SAW terhadap hukum suatu kasus dengan caratidak mengingkarinya. Ijma’ sukuti dianggapmemiliki landasan yang kuat dari salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma'para sahabat. Hal ini sebagaimana termaktub dalam kitab al-Mawahib alLaduniyah sebagaimana juga dikutip oleh Cholil Nafis sebagai berikut:
"Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh SayyidinaUstman ra. itu merupakan ijma' sukuti (kesepakatan tidak langsung) karena parasahabat yang lain tidak menentang kebijakan tersebut” (al-Mawahibal Laduniyah,  juz II,: 249).
Dalam menjawabapakah pengambilan hukum tersebut tidak mengubah sunah Rasul? Dengan tegas NYmenyatakan tidak! Kenapa tidak? Karena mengikuti Utsman bin Affan r.a. itu juga berarti ikut RasulullahSAW. Sebab Rasulullah saw telah bersabda yang artinya:
"Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepadasunnahku dan sunnah al-Khulafa' al-Rasyidun sesudah aku ". (MusnadAhmad bin Hanbal)
Pendapat lain yang sejalan dengan fiqhNU perihal adzan dua kali sebelum shalat Jumat beralasan bahwa tambahan satukali adzan meskipun tidak diperintahkan, tetapi juga tidak dilarang. Karenaperbuatan itu ada yang dilarang, adayang diperintahkan dan ada pula yang tidak dilarang dan juga tidak diperintahkan.Adzan Jumat dua kali memang perbuatan yang tidakdiperintahkan, tetapi juga tidakdilarang, dan mengandung unsur maslahah,selain juga dianggap ijma’ sukuti.
  
        Shalat Qabliyah Jumat
1. Muhammadiyah
    Dalam HPT Muhammadiyah tidak terdapat pembahasan khusus mengenai Shalat qabliyah Jumat. Namun demikian, pendapat Tarjihberkaitan dengan adzan Jumat secara langsung membuat konsekwensi terahadapmasalah shalat qabliyah Jumat.
Shalat qabliyah adalah shalat yang mengiringi shalat wajib yang dilakukan setelah adzan. Maka, ketika adzan Jumat cuma sekali dan itu dilakukan ketika khatib berada di atas mimbar, maka shalatqabliyah pun jadi tidak ada. Ini senada dengan putusan Tarjih Muhammadiyah yangmenyatakan bahwa: khusus shalat tathawwu’pada hari Jumat jumrah raka’atnya tidak terbatas, sehingga dapat dikerjakanbegitu berada di dalam masjid sesudah tahiyatul Masjid hingga datang Imamshalat, (yang mana Imam tersebut akan bersalam dan duduk, kemudian adzandilakukan).
Sementara untuk shalat sunnah sesudahshalat Jumat dapat dilakukan dengan dua atau empat Raka’at. Yang dimaksudShalat tathawwu’ di sini adalahshalat sunnah tahiyatal masjid dan shalat sunnah selain qabliyah Jumat. karenashalat sunnah qabliyah dilangsungkan setelah adzan.
Pendapat Tarjih sejalan dengan pendapatImam Malik, dan sebagian penganut Hanabilah dalam riwayat yang masyhur. AdapunDalil yang menerangkan tidak dianjurkannya shalat sunnat qabliyah Jum'at adalahsebagai berikut:
Hadistdari Saib Bin Yazid: "Pada awalnya,adzan Jum'at dilakukan pada saat imam berada di atas mimbar yaitu pada masaNabi SAW, Abu bakar dan Umar, tetapi setelah zaman Ustman dan manusia semakinbanyak maka Sahabat Ustman menambah adzan menjadi tiga kali (memasukkaniqamat), menurut riwayat Imam Bukhori menambah adzan menjadi dua kali (tanpamemasukkan iqamat). (H.R. riwayat Jama'ah kecuali Imam Muslim).
Dengan hadist di atas Ibnu al-Qoyyimberpendapat, "Ketika Nabi keluar dari rumahnya langsung naik mimbarkemudian Bilal mengumandangkan adzan. Setelah adzan selesai Nabi SAW langsungberkhutbah tanpa adanya pemisah antara adzan dan khutbah, lantas kapan Nabi SAWdan jama’ah itu melaksanakan shalat sunnat qabliyah Jum'at?”
Demikianlah hujjah dari Muhammadiyahtentang tidak adanya shalat qabliyah Jumat. 
 2. Nahdlotul 'ulama 
    Dalam masalah shalat qabliyah Jumat NUpendapat bahwa shalat qabliyah Jumat adalah sunnah hukumnya, dikarenakandalilnya lebih rajih (unggul).Pendapat ini sejalan dengan Imam Abu Hanifah, Syafi'iyyah (menurut pendapat yangdalilnya lebih tegas) dan pendapat Hambaliah dalam riwayat yang tidak masyhur,demikian Cholil Nafis.
Adapun dalil yang dipakai untukmenyatakan dianjurkannya sholat sunnah qabliyah Jum'at adalah hadist RasulullahSAW yang artinya:
"Semua shalatfardlu itu pasti diikuti oleh shalat sunnat qabliyah dua raka’at". (HR.IbnuHibban yang telah dianggap shohih dari hadist Abdullah Bin Zubair).
Dari hadist di atas maka dapatdimengerti bahwa semua shalat fardhu, termasuk shalat Jumat terdapat shalatsunnah qabliyah.
Selain hadist di atas juga ada hadistRasulullah saw lainnya, yang artinya:
Diriwayatkandari Abi Hurairah r.a. berkata: Sulayk al-Ghathafani datang (ke masjid),sedangkan Rasulullah saw sedang berkhuthbah. Lalu Nabi SAW bertanya: Apakahkamu sudah shalat sebelum datang ke sini? Sulayk menjawab: Belum. Nabi SAWbersabda: Shalatlah dua raka’at dan ringankan saja (jangan membaca suratpanjang-panjang)” (Sunan Ibn Majah).
Berdasar dalil-dalil tersebut, Imam an-Nawawimenegaskan dalam kitab al-Majmu’Syarh al-Muhadzdzab: “Disunnahkan shalat sunnah sebelum dansesudah shalat jum’at. Paling sedikit dua raka’at sebelum dan sesudah shalatjum’at. Namun yang paling sempurna adalah shalat sunnah empat raka’at sebelumdan sesudah shalat Jum’at”. (AlMajmu’, Juz 4: 9) 
          Memegang Tongkat pada Saat Khutbah 
Tarjih Muhammadiyah tidak membahas permasalahan apakah ketika khatbah, khatib membawatombak atau benda-benda lain di atas mimbar atau tidak? Dalam HPT hanyadinyatakan: “Sebelum shalat hendaklah Imam berkhutbah dua kali dengan berdiridan duduk di atantara kedua khutbah itu. Di dalam khutbah Imam supaya membacaayat al-Qur’an dan memberikan peringatan-peringatan kepada orang banyak”.Tuntunan demikian didasarkan pada pandangan hadist Sumarah r.a. Ibnu Umar, dariHadist Abu Hurairah, yang artinya:
“Karena hadist riyawat jama’ah kecuali Bukhari dan Tirmidzi dari Jabir binSamurah r.a. yang berkata: “Adalah Rasulullah berkhutbah sambil berdiri danduduk di antara dua khutbah, dan membaca beberapa ayat al-Qur’an dan memberiperingatan kepada orang banyak.”
Sementara ituNU, melalui lembaga Bahtsul Masail sependapat dengan jumhur ulama fiqh yangmengatakan bahwa sunnah hukumnya khatib memegang tongkat dengan tangan kirinyapada saat membaca khutbah.
Dalam masalahini NU bermadzhab Syafi’iyyah, di mana di dalam kitab al-Umm diterangkan: Imam Syafi'i berkata: “Telah sampai kepada kami (berita) bahwaketika Rasulullah saw berkhuthbah, beliau berpegang pada tongkat. Ada yangmengatakan, beliau berkhutbah dengan memegang tongkat pendek dan anak panah.Semua benda-benda itu dijadikan tempat bertumpu (pegangan). Ar-Rabi'mengabarkan dari Imam Syafi'i dari Ibrahim, dari Laits dari 'Atha', bahwaRasulullah SAW jika berkhutbah memegang tongkat pendeknya untuk dijadikan pegangan".(al-Umm)
Hadist Rasulullah saw, yang artinya:
Dari Syu'aib bin Zuraidj at-Tha'ifi ia berkata ''Kamimenghadiri shalat Jum'at pada suatu tempat bersama Rasulullah SAW. Maka Beliau berdiri berpegangan pada sebuah tongkat atau busur". (Sunan Abi Dawud).
Al Gazali dalam Ihya Ulumuddin, juga telah menulis:
Apabila muadzintelah selesai (adzan), maka khatib berdiri menghadap jama' ah dengan wajahnya.Tidak boleh menoleh ke kanan dan ke kiri. Dan kedua tangannya memegang pedangyang ditegakkan atau tongkat pendek serta (tangan yang satunya memegang)mimbar. Supaya dia tidak mempermainkan kedua tangannya. (Kalau tidak begitu)atau dia menyatukan tangan yang satu dengan yang lain". (Ihya' 'Ulum al-Din)
Memegangtongkat selama khotbah selain merupakan sunnah (pernah dilakukan Rasul) jugadianjurkannya sebagai cara untuk mengikat hati (agar lebih konsentrasi) danagar tidak mempermainkan tangannya. Demikian dalam kitab Subulus Salam,juz II, sebagaimana dikutip dari Cholil Nafis.

Baca juga:
 Islamnya Umar bin khattab

0 komentar:

Posting Komentar